Kekuatan media sosial dalam membentuk opini publik semakin tak terbantahkan. Kasus Gus Miftah yang viral karena pernyataan tidak pantas kepada seorang pedagang es teh menjadi contoh nyata bagaimana media sosial dapat menjadi arena solidaritas sosial sekaligus kritik kolektif. Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan dinamika interaksi di ruang digital, tetapi juga mengungkapkan pentingnya tanggung jawab sosial dalam komunikasi, terutama dari figur publik yang memiliki pengaruh besar.
Dalam sebuah acara, Gus Miftah melontarkan candaan kepada pedagang es teh yang dianggap merendahkan martabatnya. Video insiden tersebut tersebar luas di media sosial, memicu respons keras dari warganet. Banyak yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang tokoh agama. Gelombang kritik ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi wadah solidaritas untuk membela kelompok yang dianggap lemah atau diperlakukan tidak adil.
Solidaritas sosial muncul ketika individu-individu dalam masyarakat bersatu atas dasar nilai-nilai bersama, seperti keadilan, empati, dan kemanusiaan. Dalam kasus ini, warganet bersatu untuk mendukung pedagang es teh, yang mereka anggap sebagai simbol ketidakadilan sosial. Reaksi tersebut mencerminkan bentuk solidaritas organik, di mana komunitas digital merasa bertanggung jawab untuk memperjuangkan hak dan martabat orang lain.
Namun, solidaritas ini juga dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, kritik publik melalui media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif, mendorong individu atau institusi untuk introspeksi dan memperbaiki kesalahan. Di sisi lain, tekanan berlebihan tanpa ruang untuk klarifikasi atau permintaan maaf dapat berubah menjadi cyberbullying, yang berpotensi merusak psikologis pelaku tanpa menyelesaikan masalah secara konstruktif.
Sebagai tokoh publik, Gus Miftah memiliki pengaruh besar terhadap persepsi dan tindakan banyak orang. Oleh karena itu, tanggung jawabnya tidak hanya terbatas pada tindakan di ruang fisik, tetapi juga pada komunikasi di ruang digital. Pernyataan yang tidak sensitif, meskipun bertujuan sebagai candaan, dapat dengan mudah disalahartikan dan menciptakan gelombang kontroversi yang merugikan semua pihak.
Ke depan, figur publik harus lebih bijaksana dalam bertindak dan berbicara, mengingat dampaknya tidak hanya terhadap diri mereka sendiri tetapi juga terhadap masyarakat luas. Dalam konteks agama, sikap yang mencerminkan kasih, penghormatan, dan empati perlu diutamakan untuk menjaga harmoni sosial.
Dapat disimpulkan, Kasus Gus Miftah dan pedagang es teh adalah pengingat pentingnya menjaga komunikasi yang menghormati nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Solidaritas sosial yang muncul dari insiden ini menunjukkan kekuatan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan, namun juga mengingatkan akan perlunya etika dalam menyampaikan kritik. Media sosial, sebagai alat penghubung dan pembentuk opini, seharusnya digunakan untuk mendukung inklusivitas, saling pengertian, dan perbaikan bersama.
Penulis: Ega Mahendra