Membaca Ruang Umat Tao: Membangun Toleransi di Singkawang

Kota Singkawang, yang dikenal dengan harmoni kehidupan multikulturalnya, berhasil meraih predikat sebagai kota paling toleran di Indonesia berdasarkan laporan SETARA Institute tahun 2021. Kesuksesan ini tidak hanya muncul begitu saja, melainkan hasil kolaborasi berbagai elemen masyarakat yang hidup berdampingan dengan latar belakang agama, budaya, dan kepercayaan yang berbeda. Namun, di balik keberhasilan ini, muncul pertanyaan tentang peran umat Tao—sebuah komunitas kecil di Singkawang—dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama.

Sebagai komunitas yang jumlahnya hanya sekitar 900 orang, umat Tao di Singkawang memiliki eksistensi yang unik. Mereka memiliki Majelis Tao Indonesia (MTI) dengan sekretariat resmi di kota ini, menunjukkan bahwa meskipun minoritas, mereka tetap aktif dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Sayangnya, dalam konteks dialog antarumat beragama, keterlibatan umat Tao masih tergolong minim. Mereka sering kali hanya menjadi peserta, tanpa kesempatan untuk mengambil peran utama dalam forum-forum penting seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Singkawang.

Komposisi FKUB yang tidak mencantumkan perwakilan umat Tao menjadi salah satu bukti nyata keterbatasan ruang bagi komunitas ini. Padahal FKUB adalah platform strategis untuk menciptakan dialog yang setara dan membangun pemahaman lintas agama. Ketidakhadiran umat Tao dalam forum ini bukan hanya menunjukkan kurangnya representasi mereka, tetapi juga menyiratkan potensi masalah yang lebih besar di masa depan, yaitu perasaan tidak dihargai yang dapat mengancam kerukunan itu sendiri.

Meski selama ini umat Tao menunjukkan sikap damai dan kontribusi nyata dalam menjaga keharmonisan, mereka membutuhkan lebih banyak ruang untuk berpartisipasi secara setara. Pemberian ruang ini bukan hanya soal representasi, tetapi juga tentang membangun inklusivitas yang menjadi inti dari toleransi. Ketika semua komunitas, termasuk yang tergolong minoritas, merasa didengar dan dilibatkan, harmoni yang terwujud akan menjadi lebih kuat dan berkelanjutan.

Singkawang, dengan predikat kota paling toleran, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi contoh inklusivitas di Indonesia. Komunitas Tao, dengan segala keterbatasannya, perlu diberi tempat yang lebih luas dalam dialog antarumat beragama. Tidak hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai penggerak yang mampu menyuarakan perspektif mereka. Dengan cara ini, Singkawang dapat terus menjadi simbol kerukunan, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari warganya. Toleransi adalah tentang menciptakan ruang untuk semua, termasuk yang terkecil sekalipun, agar setiap suara memiliki arti dan setiap keberagaman menjadi kekuatan bersama.

Penulis: Febri U. dan Muhammad Tauvan

Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel “The Dynamics Involvement of Taoist People in Singkawang City in Inter-Religious Dialogue” yang pernah dipersentasikan pada tahun 2022 di The 4th (Hybrid) International Conference on Indigenous Religions (ICIR).

Leave A Comment

Jelajahi dunia agama dan budaya bersama LSAB. Bersama kita membangun harmoni dan pemahaman yang lebih baik.

Indonesia
X